KORBAN Erupsi gunung marapi Tita Cahyani masih mengingat jelas suasana saat berusaha menyelamatkan diri dari erupsi Gunung Marapi Sumatera Barat yang terjadi pada Minggu (3/12/2023) lalu.
Tita Cahyani jadi salah satu korban selamat erupsi Gunung Marapi meski harus mengalami cedera.
Ketika ditemui di RSUD Padang Panjang, tampak bekas luka bakar memenuhi wajahnya begitu juga dengan kedua tangannya.
Tita terbaring di atas tempat tidur dengan alas kasur putih, dilapis kain sarung motif batik. Seluruh tubuhnya ditutup selimut merah.
Tita bersedia menceritakan kronologi bagaimana ia berhasil selamat dari bencana alam tersebut.
Di tengah kepanikan, ia tertatih-tatih turun dari atas Gunung Marapi, gemuruh erupsi membuat suasana semakin mencekam.
Abu panas dan bebatuan besar yang dimuntahkan dari kawah berjatuhan, dentuman keras bersahut-sahutan saat batu-batu besar menyentuh tanah
Ketika terpisah, ia melihat seorang teman laki-laki dari rombongannya, kaki sebelah kanannya hampir putus.
“Dia minta ikatkan. Katanya, tolong ikatkan kaki abang, sudah mau habis darahnya,” ujar Tita saat dalam perawatan di RSUD Padang Panjang, Rabu (6/12/2023).
Tita terpaksa mengikat kakinya walaupun kulit tangannya sudah mau terkelupas semua akibat luka bakar.
“Aku bilang nggak kuat bang, dia bilang pakai gigi. Aku paksa pakai gigi. Dia bilang, jangan tinggalkan abang, di sini aja. Aku bilang nggak bisa bang, aku harus turun, nanti aku cari bantuan,” katanya.
Tita masih mengingat jelas apa yang dialaminya saat berusaha menyelamatkan diri.
Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan dua pendaki laki-laki yang kondisinya juga mengenaskan. Satu patah jari tangan, dan satu patah di bagian kaki.
“Mereka bilang, sini aja kak katanya, nggak usah turun lagi, nanti pingsan, capek. Aku bilang, nggak, aku harus turun. Pas turun lagi, ada tenda satu (milik pendaki lain). Ketemu kakak (Widya) ini lagi. Kita tiduran di sana sebentar. Karena tidak ada air, kita paksakan turun ke tenda kita di Pintu Angin,” papar Tita.
Sesampainya di tenda Pintu Angin, Tita dan Widya istirahat sebentar sembari minum sisa persediaan air. Rencananya, ia dan Widya akan berada di sana hingga tim bantuan datang menjemput.
Namun sayangnya, di tenda mereka tidak ada lampu dan api untuk menghangatkan badan. Mereka khawatir, jika menunggu di situ, lama-lama bisa kedinginan hingga mengalami hipotermia.
Tita lantas menginisiasi agar sebaiknya mereka berdua melanjutkan perjalanan turun.
“Aku bilang kita harus turun sama kakak (Widya) ini, kita harus selamat. Kalau nunggu di sini tak tahu sampai jam berapa. Maka kami paksakan turun. Kakak ini lebih dulu, aku di belakang karena kaki sakit, seperti mati rasa. Tapi kakak ini sepanjang jalan panggil Tita… Tita… Memastikan aku masih ikut di belakang, aku jawab iya kak. Waktu itu kondisi masih cukup terang, sekitar pukul setengah 5 sore,” urainya.
Jalanan terjal dan licin karena hujan, semakin menyulitkan perjalanan Tita menuju ke bawah. Tenaga semakin terkuras, sementara kaki dan beberapa bagian tubuh lainnya, menahan rasa sakit.
Alhasil, Tita memutuskan untuk beringsut dengan cara ngesot. Badannya ia paksa bergeser perlahan.
“Pakai badan aja turun lagi, ngesot. Badan dipakai buat turun. Sampai di simpang Aie Angek Batu Palano. Di sana ada 6 pendaki yang sudah turun duluan, lagi nunggu nunggu bantuan. Tambah aku dan kakak (Widya) jadi 8 orang. Dibilang suruh tunggu, sudah ditelfon bantuan, sudah jalan,” beber Tita.
Di tempat itu lanjut Tita, kondisi para pendaki lainnya tak kalah menyedihkan. Ada yang mengalami patah tangan, kepala bocor, patah punggung, hipotermia, dan sebagainya. Sementara hujan masih mengguyur.
Hanya ada satu pendaki saja yang kondisinya lebih baik dari yang lain. Cuma terluka sedikit di bagian kaki akibat terkena batu saat terjadi erupsi.
“Dia yang ngurus pendaki lain, membantu saat ada yang haus, ada lapar. Karena bantuan lama datang,” jelas Tita.
Sempat Coba untuk Hubungan Keluarga
Di ruangan yang sama, terbaring satu korban erupsi Marapi lainnya. Dia adalah perempuan bernama Widya Azhamul Fadilah, yang tak lain teman dari Tita Cahyani satu rombongan.
Tita mengungkapkan ia memulai pendakian pada Sabtu (2/12/2023) pagi, pengalaman pendakian perdana baginya.
Ia berangkat dengan rombongan teman-temannya yang berjumlah 4 orang.
Saat itu, mereka memutuskan untuk bermalam dengan mendirikan tenda di Pintu Angin. Karena kondisi hujan, ditambah lagi mereka sudah sangat kelelahan.
“Besok (Minggu) paginya, baru kami naik ke puncak, sampai jam setengah 12. Seperti biasa, foto-foto, bikin video. Cuaca bagus, semua bagus, tidak ada tanda apa-apa,” sebut Tita.
Setelah selesai berkegiatan di puncak Marapi, Tita dan kawan-kawan bersiap untuk turun.
Saat itu jam menunjukkan pukul 14.00 WIB lebih. Inilah detik-detik bencana yang merenggut total 23 nyawa itu dimulai.
“Setengah turun dari Tugu Abel, keluar asap putih, kami mendengar seperti suara ledakan. Langsung berlindung kami, saat itu hujan batu besar. Kami berlima berlindung di balik batu,” ucap Tita mulai mengisahkan kejadian menegangkan tersebut.
Namun dipaparkan Tita, rombongannya terpecah menjadi 2. Situasi panik tak terhindarkan.
“Tinggal aku, dan kakak sebelah ini (Widya, yang dirawat di sebelahnya), dan satu lagi terjatuh mungkin setelah kena batu menggelinding ke bawah. Yang dua orang lagi tidak tahu di mana,” ungkapnya.
Belum lagi usai perasaan khawatir Tita, tiba-tiba asap hitam membumbung tinggi dari kawah Marapi ke udara.
Dengan cepat asap bercampur abu panas ini bergerak bak mengejar siapa saja yang berada di dekatnya. Pergerakan asap makin cepat karena tiupan angin.
Ia pun terpisah dari Widya, saat itulah ia melihat seorang teman laki-laki yang terluka parah pada bagian kakinya hingga hamper putus.
Setelah Tita mengikat kaki temannya, ia melanjutkan turun gunung.
Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan dua pendaki laki-laki yang kondisinya juga mengenaskan. Satu patah jari tangan, dan satu patah di bagian kaki.
Menurut Tita, saat kejadian itu, ia hanya memikirkan bagaimana untuk bisa segera turun menyelamatkan diri.
Tita sempat mencoba hendak menghubungi keluarga dan teman-teman lewat handphone. Namun sayang, tangannya yang mengalami luka bakar cukup parah, tak kuat untuk mengetik tulisan, atau hanya sekedar menyentuh tombol tertentu untuk mengirim pesan darurat.
Atas kejadian ini, Tita mengaku kapok naik gunung. Ia berujar, mendaki Marapi pada akhir pekan lalu yang berujung petaka, menjadi pengalaman pertama sekaligus terakhirnya naik gunung. Ia mengaku kapok.
“Kapok, nggak mau lagi. Ini pendakian pertama,” ungkap dia.
Tita menambahkan, sebelum letusan terjadi, ia tak merasakan ada tanda-tanda akan terjadi hal tersebut. Petugas yang berwenang, juga tak memberikan peringatkan.
“Orang banyak mendaki saat itu, karena akhir pekan Sabtu Minggu,” pungkasnya.
Seperti diketahui Gunung Marapi yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Agam dan Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, meletus pada Minggu (3/12/2023) sekitar pukul 14.54 WIB kemarin.
Meletusnya gunung api berketinggian 2.891 mdpl ini ditandai dengan adanya muntahan kolom abu berisi material vulkanik hingga 3.000 meter dari puncak kawah yang disertai suara gemuruh.
Total ada 75 orang pendaki yang terjebak saat kejadian erupsi. 29 orang diantaranya berasal dari Riau.
Dari 75 orang pendaki, 52 berhasil selamat. Dari mereka ada yang masih dirawat karena mengalami luka-luka.
Dengan ditemukannya korban terakhir ini, maka korban meninggal dunia total menjadi 23 orang. Keseluruhan korban meninggal dievakuasi ke Rumah Sakit Achmad Mochtar Bukittinggi, untuk diidentifikasi. Sesudah itu, diserahkan ke pihak keluarga untuk dimakamkan. *** sumber Tribunpekanbaru