RINEWSS.COM — – Aparatur sipil negara (ASN) atau pejabat dilarang untuk menerima gratifikasi.
Larangan menerima gratifikasi ini diatur di Undang-Undang Tipikor Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.
Tapi ternyata tidak semua gratifikasi dilarang diterima oleh ASN ataupun pejabat dari pihak ketiga.
Ada juga gratifikasi yang boleh diterima oleh ASN ataupun pejabat.
Analis Pemberantasan Tipikor, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Anjas Prasetiyo, mengatakan KPK bukan memberantas semua gratifikasi, akan tetapi mengendalikan.
Hal ini disampaikannya dalam sosialisasi yang digelar di di Gedung Serba Guna, Kabupaten Belitung, Rabu (23/8/2023).
Kehadiran KPK di Belitung untuk mensosialisasikan tentang gratifikasi yang dilarang dan tidak dilarang.
Ia memaparkan bahwa ada 17 gratifikasi yang tidak dilarang untuk menerimanya atau tidak wajib dilaporkan.
“Jadi pengendalian gratifikasi tidak untuk memberantas tapi lebih kepada mengendalikan. Kami ingin para ASN dan pejabat di sini paham mana yang boleh, mana yang tidak boleh,” ujar Anjas Prasetiyo saat ditemui usai kegiatan pada Rabu (23/8/2023).
Ia menjelaskan dalam Undang-Undang Tipikor Nomor 20 Tahun 2001 terdapat kewajiban bagi ASN dan pejabat menolak gratifikasi yang diberikan karena status sebagai ASN maupun pejabat.
Sebab, gratifikasi akan mengganggu independensi mereka dalam menjalankan tugas dan akan mengutamakan kepentingan pemberi gratifikasi tersebut.
Meskipun demikian, kata dia, ternyata terdapat 17 gratifikasi yang tidak dilarang Undang-Undang.
Pada intinya gratifikasi tidak boleh diberikan atas nama perorangan dalam satu instansi.
Ia mencontohkan di satu sekolah, seorang kepsek dilarang menerima gratifikasi tetapi sekolah bisa seperti untuk pembangunan peningkatan sarana prasarana.
Sehingga membantu siswa lebih mudah dalam pembelajaran yang berdampak pada peningkatan prestasi.
“Mereka harus pilah-pilah, mereka harus berani menolak dan mendidik masyarakat. Memang ketika menolak itu dianggap tidak sopan dan menghina tapi kita harus pintar mendidik mereka,” katanya.
Anjas menambahkan praktik gratifikasi memang domiman dilakukan oleh penerima layanan atas jasa yang telah diberikan ASN atau pejabat.
Padahal seharusnya praktik tersebut jelas dilarang karena ASN sendiri bertugas melayani masyarakat.
Selain itu, kata dia, pihak ketiga atau rekanan yang berkaitan dengan proyek pengadaan fasilitas fisik yang nominalnya cukup fantastis.
Anjas menegaskan pihak ketiga tidak boleh memberikan apapun ketika proyek memasuki tahap tender, pengerjaan hingga selesai pekerjaan.
“Tapi vendor bisa ngasih gratifikasi misalnya saat diundang hajatan. Itu boleh kok tapi batasannya satu vendor boleh ngasih maksimal satu juta,” ungkapnya.
Anjas berharap ke depan para ASN dan pejabat di lingkup Pemda Belitung bisa memulai menerapkan penolakan gratifikasi dari sendiri.
Menurutnya hal tersebut bisa dimulai dari mindset atau tidak mencurigai orang yang dikhawatirkan masih menerima gratifikasi.
Begitu juga rekan pers bisa memberikan dukungan dengan tidak mencari-cari kesalahan.
Menurutnya pers yang sehat akan menjalankan fungsinya dalam mengawasi sesuai fakta dan data.
“Saya juga sering juga dapat keluhan, belum apa-apa sudah dicari-cari kesalahannya. Kondisi itu justru akan menyebabkan pola kerja yang tidak sehat,” katanya. *** posbelitung.co