RRINEWSS.COM– Pemerintah memastikan kembali menetapkan kenaikan cukai rokok naik 10% pada tahun depan. Selama kepemimpinan Jokowi, cukai rokok meroket lebih dari 100%. Sayangnya, jumlah perokok malah terus naik tiap tahun lantaran rokok ilegal yang masih beredar di masyarakat.
Melansir dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memastikan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 10% per Januari 2024. Kenaikan ini sesuai dengan keputusan Presiden Joko Widodo pada 2022. Saat itu, Jokowi merilis kebijakan kenaikan tarif CHT dua tahun berturut-turut, yakni 2023 dan 2024.
Dengan memperhitungkan kenaikan cukai tahun depan, selama dua periode kepemimpinan Jokowi pita cukai rokok telah melesat lebih dari 108%. Meski cukai rokok naik, akan tetapi secara realita jumlah perokok di Indonesia juga ikut naik, bahkan riset menunjukkan akan ada kenaikan lagi di tahun-tahun mendatang.
Melansir data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021. Meskipun prevalensi merokok di Tanah Air mengalami penyusutan menjadi 1,6% dari 1,8%.
Selanjutnya, melansir dari laporan Statista Consumer Insights memprediksi di Indonesia pada beberapa tahun mendatang masih akan mencatatkan kenaikan perokok. Statista memproyeksikan jumlah perokok akan bertambah menjadi 123 juta pada 2030 mendatang.
Proyeksi pertumbuhan jumlah perokok di Indonesia ini kontras dengan sebagian besar negara di dunia yang diperkirakan akan mencatat penurunan jumlah perokok.
“Dunia diperkirakan akan melihat pergeseran lambat dari merokok selama beberapa tahun mendatang, menurut analis dari Statista Consumer Insights. Kecuali di Indonesia, yang diproyeksikan akan ada tambahan jutaan orang merokok pada 2030,” kata Statista mengutip dari lamannya, Rabu (31/5/2023).
Peningkatan jumlah perokok ini ditengarai karena ada peredaran rokok ilegal yang masih menjadi momok bersama, apalagi di tengah kondisi daya beli masyarakat yang masih rapuh walaupun dalam tren pertumbuhan.
Secara data, daya beli masyarakat masih di atas nilai 100 memang menunjukkan optimisme konsumen yang baik. Hanya saja, dalam beberapa bulan terakhir tren indeks keyakinan dan ekspektasi masyarakat tumbuh terbatas, ini mencerminkan daya beli masyarakat masih rapuh.
Sudah menjadi cerita klasik jika perokok Tanah Air sangat sensitif dengan harga, ini karena secara data kebanyakan perokok merupakan masyarakat dengan pendapatan rendah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada sebanyak 7,8 juta perokok dari masyarakat miskin yang lebih memilih membeli rokok dibandingkan memilih bahan makanan sehat dan bergizi. Rokok bahkan tercatat menjadi pengeluaran kedua tertinggi setelah beras, sebesar 11,9% di perkotaan, dan 11,2% di pedesaan.
Daya beli masyarakat yang lesu di tengah harga rokok naik akan menyebabkan perubahan perilaku pasar mencari harga rokok yang lebih murah, ini bisa memicu peredaran rokok ilegal meningkat di masyarakat.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengatakan kenaikan cukai rokok akan memaksa pelaku industri harus menaikkan harga jual untuk menjaga margin, bahkan menekan produksi agar beban tidak menggerus pendapatan. Sebaliknya, ketika harga rokok naik konsumen akan beralih ke harga yang lebih murah, apalagi di tengah daya beli masyarakat yang lesu.
“Otomatis harga jual eceran rokok naik, sementara konsumen daya belinya lemah,” kata Benny yang dikutip Selasa (19/12/2023).
Lebih lanjut, Benny meminta kenaikan cukai pada tahun depan harus disertai penanganan produksi rokok ilegal dengan lebih dan memperketat pemberantasan mesin-mesin produksi rokok ilegal. *** CNBC INDONESIA