JAKARTA RRINEWSS.COM — Pengumuman Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) RI menjadi hal yang dinanti investor dan pelaku pasar. Pengumuman juga diharapkan bisa menggerakkan pasar keuangan termasuk nilai tukar rupiah.
Nilai tukar rupiah pernah menguat tajam saat Joko Widodo (Jokowi) diusung menjadi capres dari partai PDI Perjuangan pada 2014 dan 2019. Namun, fenomena serupa justru menghilang tahun ini.
Sebagai catatan, nilai tukar rupiah menguat tajam 0,26% ke posisi Rp 11.350/US$1. Melesatnya rupiah tak bisa dilepaskan dari besarnya dukungan masyarakat ke Jokowi pada saat itu. Jokowi yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah ‘public darling’ pada tahun 2013.
Berbagai kalangan bahkan sudah mendesak PDI-P untuk segera mencalonkan Jokowi tetapi partai tersebut memilih untuk menahan diri.
Rupiah kembali menguat tajam pada saat Jokowi dicalonkan kembali untuk periode kedua pada 23 Februari 2018. Nilai tukar rupiah menguat 0,11% ke Rp 13.665/US$1. Rupiah menguat setelah melemah selama lima hari beruntun pada sepekan sebelumnya.
Sejak Februari hingga awal April 2014, rupiah cenderung menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bukan hanya karena deklarasi capres Jokowi, namun pada Maret 2014, perbaikan fundamental ekonomi domestik dan membaiknya persepsi risiko investor global terhadap Indonesia membuat rupiah mengalami apresiasi.
Perbaikan kondisi neraca transaksi berjalan Indonesia pada triwulan IV 2013 yang lebih baik dibandingkan dengan negara kawasan lainnya merupakan salah satu faktor yang menopang perbaikan sentimen investor global terhadap fundamental ekonomi Indonesia.
Selain itu, perbaikan persepsi risiko investor global terhadap Indonesia yang kemudian mendorong aliran masuk modal asing dipengaruhi faktor eksternal maupun internal.
Sementara pada 3 Oktober 2022 di saat capres Anies Baswedan dideklarasikan oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem), rupiah melemah terhadap dolar AS ke level Rp15.300/US$ atau melemah 0,49%.
Pada saat itu, kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan dengan siklus yang lebih lama (higher for longer) mendorong tetap kuatnya mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dan menekan mata uang negara lainnya termasuk rupiah.
Berkaca pada data Bank Indonesia, indeks dolar tercatat 106,28 pada 16 November 2022 mengalami penguatan sebesar 11,09% (year to date/ytd).
Lebih lanjut, kuatnya dolar AS didorong oleh pengetatan kebijakan moneter yang agresif di AS dan penarikan modal dari berbagai negara ke AS, di tengah melemahnya ekonomi dan tingginya inflasi di Eropa. Pada saat bersamaan, tingginya ketidakpastian pasar keuangan global berlanjut.
Tekanan pelemahan nilai tukar tersebut semakin meningkat sejalan dengan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Aliran keluar investasi portofolio asing menambah tekanan nilai tukar di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Berbeda halnya dengan Anies, capres Ganjar yang dideklarasikan pada 21 April 2023 justru membuat rupiah mengalami penguatan sebesar 0,07% di angka Rp14.830/US$ pada 26 April 2023 di saat pasar kembali dibuka.
Perlu dicatat jika “Ganjar Pranowo effect” tidak langsung bekerja ke pasar keuangan karena ada jeda cukup lama karena pasar saat itu tengah libur panjang Lebaran. Pasar baru dibuka kembali pada 26 April 2023.
Perlu dicatat juga ekonomi Indonesia melesat pada kuartal I-2023 yang ikut menopang nilai tukar. Pada kuartal-I 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 5,03% (year on year/yoy) yang didorong oleh tingginya ekspor dan meningkatnya permintaan domestik sejalan dengan konsumsi rumah tangga dan konsumsi Pemerintah yang meningkat serta investasi nonbangunan yang baik.
Selain itu, kuatnya aliran masuk modal asing di investasi portofolio membuat mata uang Garuda mengalami apresiasi bahkan lebih baik dibandingkan apresiasi baht Thailand, rupee India, dan peso Filipina yang mengalami depresiasi.
Sementara saat Muhaimin Iskandar atau Cak Imin diumumkan sebagai cawapres Anies pada 30 Agustus 2023, rupiah menguat secara beruntun. Pada 28 Agustus rupiah menguat tipis 0,03% dan penguatan terus berlanjut hingga 31 Agustus 2023. Di akhir Agustus, rupiah ditutup di angka Rp15.225/US$ atau menguat 0,07%.
Penguatan rupiah didukung oleh mulai mendinginnya data tenaga kerja AS dan prospek melunaknya sikap bank sentral AS (The Fed).
Untuk diketahui, data payrolls ADP menunjukkan pengusaha swasta menambah 177.000 pekerjaan pada Agustus. Jumlah tersebut jauh di bawah angka revisi pada Juli yaitu 371.000. Itu juga meleset dari perkiraan Dow Jones sebesar 200.000.
Berbeda sedikit dengan saat deklarasi Mahfud MD selaku cawapres dari capres Ganjar, rupiah melemah tipis 0,1% ke angka Rp15.725/US$ pada 18 Oktober 2023.
Sementara itu, saat cawapres Gibran Rakabuming Raka dideklarasikan pada 22 Oktober 2023 di malam hari, pasar menyambut negatif. Respon pasar ikut membuat rupiah melemah drastis keesokan harinya (23/10/2023).
Pada awal perdagangan, rupiah dibuka di angka Rp15.870/US$ dan di tengah perdagangan sempat menyentuh titik Rp15.965/US$. Posisi ini merupakan yang terendah sejak 8 April 2020 atau sekitar 3,5 tahun terakhir.
Pelemahan rupiah tersebut tak lepas dari capital outflow yang terjadi pada periode 16 – 19 Oktober 2023 yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI). Investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp5,36 triliun terdiri dari jual neto Rp3,45 triliun di pasar SBN, jual neto Rp3,01 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,10 triliun di SRBI.
Capital outflow ini terjadi akibat selisih antar US Treasury dan Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang kian tipis.
Pada 23 Oktober 2023, tercatat imbal hasil US Treasury sebesar 4,97% dan SBN tenor 10 tahun sebesar 7,2%. Jika dikalkulasikan, selisih antara keduanya yakni sebesar 223 bps.
Kendati selisih tersebut mengalami kenaikan dibandingkan pekan lalu, namun selisih ini masih terhitung kecil apalagi rating surat utang AS sebagai negara maju jauh di atas Indonesia. Alhasil, investor cenderung memilih untuk berinvestasi di AS dan keluar dari emerging market termasuk Indonesia. ***cnbci