RRINEWSS.COM- PALESTINA — Faksi Palestina di wilayah Gaza, Hamas, menolak proposal dari Israel untuk gencatan senjata pada Sabtu (13/4) lalu.
Proposal itu diserahkan ke Hamas via mediator di Mesir dan Qatar pada awal pekan lalu.
Setelah hampir tujuh bulan Israel menggempur Gaza–baik lewat serangan udara maupun tentara di darat– perundingan dengan Hamas masih menemui jalan buntu. Hamas tetap berpegang kukuh pada tuntutan utama mereka, bahwa perjanjian apa pun harus mengakhiri bombardir militer Israel ke Gaza dan menarik pasukannya.
“Kami.. menegaskan kembali ketaatan kami terhadap tuntutan-tuntutan kami, dan tuntutan nasional rakyat kami; dengan gencatan senjata permanen, penarikan tentara pendudukan dari seluruh Jalur Gaza, kembalinya para pengungsi ke wilayah dan tempat tinggal mereka, kembalinya para pengungsi ke daerah dan tempat tinggal mereka, intensifikasi masuknya bantuan dan bantuan, dan dimulainya rekonstruksi,” demikian pernyataan Hamas seperti dikutip dari Reuters, Minggu (14/4).
Sementara itu, Israel ingin Hamas mengembalikan para sandera yang ditangkap usai serangan 7 Oktober 2023 lalu yang memicu perang di wilayah Gaza. Namun, Israel menyatakan tidak akan berhenti berperang sampai kekuatan militer Hamas dihancurkan.
Mereka juga mengatakan pihaknya masih berencana melakukan serangan terhadap kota Rafah di Gaza selatan, tempat lebih dari satu juta warga sipil mengungsi.
Di sisi lain, Juru Bicara Hamas mengatakan pada Sabtu lalu menegaskan mereka siap untuk menyelesaikan kesepakatan pertukaran tawanan dengan Israel yang akan membebaskan 133 sandera yang diyakini masih ditahan di Gaza sebagai imbalan atas ratusan warga Palestina yang dipenjara di Israel.
Pernyataan Hamas tersebut muncul beberapa hari setelah Israel membunuh beberapa anggota keluarga dari ketua kelompok faksi tersebut, Ismail Haniyeh, di Gaza. Peristiwa itu meningkatkan kekhawatiran di kalangan warga Israel yang keluarganya disandera bahwa tindakan tersebut akan menggagalkan upaya pembebasan mereka dari Gaza.
Berbicara kepada Reuters di Qatar sehari setelah pembunuhan anggota keluarganya itu, Haniyeh mengatakan kelompoknya masih mencari kesepakatan namun menuduh Israel menunda-tunda dan menghindari tanggapan terhadap tuntutan kelompok tersebut.
Seruan global untuk melakukan gencatan senjata semakin meningkat ketika perang memasuki bulan ketujuh, namun hanya ada sedikit tanda-tanda kemajuan dalam perundingan tersebut.
Sementara itu mengutip dari kantor berita Palestina, WAFA, aparat Israel menangkap lebih dari 150 pekerja Palestina dalam dua pekan terakhir ketika mereka ingin mencari peluang mencari bekerja di wilayah pendudukan Negara Yahudi.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Palestina, Shaher Saad, mengatakan di antara mereka sebanyak 15 di antaranya ditahan di fasilitas militer di wilayah Yerusalem yang diduduki Israel.
Saad mengatakan sejak 7 Oktober 2023, rezim pendudukan Israel terus memburu para pekerja Palestina di 48 wilayah tersebut– baik dari tempat kerja atau pos pemeriksaan mereka meskipun telah memperoleh izin masuk.
Saad menggambarkan penahanan besar-besaran yang dilakukan terhadap pekerja Palestina sebagai kejahatan yang tidak dapat ditoleransi.
Saad meminta Komite Palang Merah Internasional, Organisasi Perburuhan Internasional, Konfederasi Serikat Buruh Internasional, serta semua lembaga internasional untuk segera melakukan intervensi. Dia menuntut lembaga-lembaga internasional itu memberikan tekanan pada Israel untuk membebaskan para pekerja.
Ia juga menegaskan bahwa perjanjian dan perjanjian internasional menjamin hak pekerja Palestina untuk bekerja di wilayah pendudukan Israel berdasarkan dokumen 1948 dengan hak penuh seperti pekerja asing.*** (kid/CNNI)