RRINEWSS.COM- JAKARTA — Di era digital yang terus berkembang, Generasi Z (Gen Z) menjelma sebagai kekuatan dominan yang lekat dengan tiga kata, Kreatifitas, Koneksi, dan Kesehatan Mental. Mereka muncul sebagai pemain kunci dalam membentuk masa depan kreatif dan konektivitas.
Dikenal karena kecakapan mereka dalam berinovasi dan beradaptasi, 95 persen dari mereka aktif di media sosial, menjadikan platform ini sebagai panggung utama bagi ekspresi dan interaksi mereka. Namun, di balik gemerlapnya dunia digital, tantangan literasi digital mengintai.
Salah satunya, manajemen identitas digital dan pola pikir daring yang masih minim pemahamannya. Sebuah studi pun menunjukkan, kesehatan mental Gen Z terancam akibat kurangnya pengetahuan ini.
Merespons potensi tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) hadir dengan Obral Obrol Literasi Digital bertajuk ‘TrenGenZ: Kreativitas, Koneksi, dan Kesehatan Mental di Dunia Digital’ pada Jumat (26/4). Acara ini membahas bagaimana Gen Z bisa memaksimalkan potensi kreatifnya di dunia digital dengan tetap menjaga kesehatan mental.
Obral Obrol Literasi Digital bertajuk ‘TrenGenZ: Kreativitas, Koneksi, dan Kesehatan Mental di Dunia Digital’, Jumat (26/4). (Foto: Arsip Kominfo)
Penggiat Literasi Digital dari Mafindo, Anita Wahid selaku, menilai meski Gen-Z mendapatkan julukan sebagai generasi paling kreatif, namun sejatinya setiap generasi memiliki porsi kreatifitasnya masing-masing.
“Gen-Z lahir dan tumbuh dalam lingkungan perkembangan teknologi yang pesat dan mudah. Sehingga, banyak kesempatan dalam membuat karya yang melibatkan sensori dengan kemudahan artificial intelligence,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (29/4).
Ia menambahkan, Gen-Z merupakan generasi memiliki kemampuan menampilkan sisi keaslian diri mereka, tanpa takut terhalang konsekuensi sosial yang kaku seperti pada generasi sebelumnya.
Tak hanya itu, Gen-Z juga mampu mengolaborasikan ide kreatif dalam dunia kewirausahaan, seperti yang akhir-akhir dirasakan bahwa banyak usaha yang memiliki ‘taste’ khas dari generasi Z.
“Usaha yang baru-baru yang inovatif, biasanya selalu ada gairah dan jiwa Gen Z,” ujar Anita.
Sementara itu, perkembangan dunia digital yang terus berkembang memerlukan satu kemampuan dalam menjalin relasi dengan beragam platform yang ada. Sebagai perwakilan suara generasi Z, Founder @pasti.id & Mental Health Influencer, Yofania Asyifa Jami, mengaku memiliki cara unik dalam mengembangkan potensi diri di dunia digital.
Survivor kesehatan mental tersebut pun berbagi tips dalam mengoptimalkan potensi diri Gen Z dengan aneka platform digital yang ada sesuai preferensi, tergantung pada minat dan bakat masing-masing. Contohnya bagi penyuka tulisan dapat menggunakan X, sedangkan penyuka audio visual dapat menggunakan Instagram atau YouTube.
Ia juga menambahkan, meski bebas mengungkapkan apapun di media sosial, terutama yang positif tetap saja harus ada batasnya. Ia pun menyarankan untuk tidak berbagi berlebihan, terutama terkait data pribadi di media sosial.
Baginya, media sosial dapat digunakan sebagai sarana berinteraksi secara real time meski ada jarak yang memisahkan. Semakin beragamnya platform, juga membuka peluang untuk memperluas jaringan pertemanan dan interaksi sosial di dunia digital.
“Walaupun virtual, kita memiliki rasa keterlibatan secara langsung dan memiliki koneksi lebih. Kalau dulu kan kita hanya bisa sebatas komentar. Saat ini banyak platform yang membuat kita lebih terkoneksi,” imbuh Yovania.
Sedangkan menurut Psikolog Klinis, Marissa Meditania, tantangan yang dihadapi Gen Z di era sosial media yang pesat ini adalah soal pencarian jati diri. Karena rentang umur mereka antara belasan hingga 25 tahun, merupakan masa awal dalam menentukan langkah selanjutnya, dan biasanya tidak sedikit yang berada pada persimpangan jalan dalam mengambil keputusan.
Media sosial mudah untuk diakses oleh siapapun dan kapanpun, menjadi rentan terhadap kondisi yang merugikan, karena itu tetap harus menetapkan batasan. Ia menambahkan saat menggunakan media sosial, otak mengeluarkan dopamin, zat dalam otak yang membuat orang merasa rileks, sehingga media sosial sering menjadi pelarian dari masalah kehidupan nyata.
“Duh…susah banget ngadepin tantangan kerjaan. Jadi main game dan medsos atau yang berelasi dengan gadget. Karena secara alamiah merasa rileks kita bisa addiction,” sebutnya.
“Dan ketika tidak menggunakan gadget, ada titik dimana seperti pengguna narkoba atau rokok yang sulit menetralisir perasaan terhadap gadget. Dan ketika tidak menggunakan gadget jadi cemas,” lanjut dia.
Namun, tantangan dunia digital tidak hanya dihadapi Gen Z saja, saat ini setiap generasi sedang menghadapi tantangan dunia digital dengan kadar yang berbeda. Dengan pengetahuan yang mumpuni, Gen-Z dapat menavigasi dunia digital dengan bijak dan menciptakan masa depan yang gemilang.*** (rir/CNNI)