Pelajaran pahit dari Erupsi Gunung Marapi: Dalam Status Waspada sejak 2011 Hingga Letusan ‘tiba-tiba’

KORBAN erupsi gunung merapi sebanyak 23 orang yang terjadi secara “tiba-tiba” pada Minggu (03/12) membuktikan bahwa prosedur dan rambu-rambu keselamatan “telah diabaikan”.

Pengamat kebencanaan dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurna, mengatakan bahwa korban tewas semestinya bisa dicegah andai rekomendasi untuk tidak mendekati kawah dalam radius tiga kilometer dipatuhi.

“Kalau dilihat ada pendaki yang sampai merapat dekat ke kawah, maka SOP [standard operational procedure] tersebut diabaikan oleh pendaki dan pihak-pihak yang seharusnya memberi peringatan untuk itu,” kata Eko kepada BBC News Indonesia, Selasa (5/12).

Gunung Marapi telah berstatus Waspada atau level II sejak 2011. Aktivitas erupsi Gunung Marapi sempat meningkat pada 7 Januari 2023, sehingga pihak berwenang menutup sementara jalur pendakian.

Akan tetapi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat membuka kembali jalur pendakian ke Marapi pada 24 Juli 2023 – meski gunung dengan ketinggian 2.885 meter ini masih berstatus Waspada.

Plh BKSDA Sumatera Barat, Dian Indriati, mengatakan pihaknya memberikan izin pendakian Gunung Marapi karena adanya kesepakatan dengan semua pihak terkait, termasuk pemda.

Sejak izin pendakian dikeluarkan pada Juli 2023, tidak tercatat aktivitas signifikan pada Gunung Marapi.

Bahkan, pada 3 Desember 2023, sejumlah pendaki yang selamat menyatakan “tidak ada tanda-tanda erupsi”.

Catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menunjukkan bahwa tidak ada gempa vulkanik atau erupsi di Marapi selama dua pekan sebelum kejadian.

Meski demikian, pakar vulkanologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurachman, mengatakan bahwa aktivitas vulkanik seperti yang terjadi di Gunung Marapi “sangat sulit diprediksi” dan sulit dideteksi dini.

Bencana kali ini telah menunjukkan bahwa pengabaian prosedur keselamatan dapat berakibat fatal ketika bersanding dengan gunung yang berkarakter seperti Marapi.

Hal serupa pun berpeluang terjadi di gunung-gunung berapi lainnya di Indonesia.

Mengapa banyak pendaki berada di area sekitar kawah?

Dalam proses evakuasi pada Selasa (5/12), sejumlah petugas dari tim SAR tampak menggotong kantong jenazah korban erupsi di dekat kawah Gunung Marapi.

Di belakang mereka, kepulan asap dari erupsi berskala kecil terlihat dengan jelas.

Korban meninggal lainnya juga ditemukan di titik-titik yang masuk dalam kawasan paling rawan bencana di Marapi, yang semestinya terlarang didatangi.

Namun nyatanya, banyak pendaki sampai ke puncak dan kawah, bahkan bermalam di sekitarnya.

Salah satu korban selamat, Irvanda Mulya, mengaku tidak diperingatkan oleh petugas di posko pendakian bahwa mereka dilarang mendekat dalam radius tiga kilometer dari puncak.

“Enggak ada diperingatkan atau aba-aba gitu,” kata Irvanda. Kendati begitu, tambahnya, dia melihat rambu-rambu jarak aman, imbauan untuk berhati-hati, serta jalur evakuasi jika terjadi erupsi.

Pada Sabtu (02/12) malam, mereka bahkan berkemah di sekitar Tugu Abel, yang jika ditarik garis lurus di peta, hanya berjarak sekitar 600 meter dari kawah.

Tugu Abel sendiri merupakan monumen yang dibangun sebagai peringatan atas tewasnya seorang pendaki bernama Abel Tasman akibat erupsi Marapi pada 5 Juli 1992.

Lokasi Tugu Abel, Marapi dan jaraknya ke kawasan puncak

Keterangan serupa juga disampaikan oleh Muhammad Iqbal, salah satu pendaki yang sempat berkunjung ke kawah Marapi, sekitar lima jam sebelum erupsi.

Iqbal bersama teman-temannya mendaki ke Marapi pada Sabtu.

“Saat kami daftar itu enggak ada secara langsung dikasih tahu [risiko erupsi Marapi]. Tapi enggak tahu juga di website BKSDA ada atau enggak,” kata Iqbal kepada wartawan BBC News Indonesia, Oki Budhi.

“Daftar cuma sekadar daftar saja, secara langsung enggak ada briefing. Padahal kalau kata senior-senior [pendaki Marapi] seharusnya kan ada briefing.”

Iqbal mengetahui bahwa status Gunung Marapi ada pada level Waspada, tetapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika gunung berapi berstatus seperti ini.

Menurutnya, tidak ada juga larangan untuk naik sampai ke puncak dan mendekati kawah.

Sepanjang perjalanan naik, Iqbal mengatakan ada rambu-rambu dan petunjuk di jalur pendakian sebelum memasuki kawasan puncak. Begitu pula dengan rambu jalur evakuasi.

Namun menurutnya, rambu-rambu yang memperingatkan soal risiko erupsi minim dan kurang jelas.

“Radius-radiusnya enggak ada, cuma diingatkan hati-hati Gunung Marapi begini [rawan erupsi],” terang Iqbal.

Begitu memasuki kawasan puncak, cadas, dan kawah Marapi, tidak ada rambu atau plang larangan.

Iqbal bahkan sempat menghabiskan waktu selama 30 menit di pinggir kawah, tepatnya pada Minggu sekitar pukul 08.30 – 09.00. Itu adalah kali pertama dia melihat langsung kawah gunung berapi.

“Tiba-tiba ada suara air mendidih gitu, seperti suara steam, agak jelas suaranya sama aku,” kata Iqbal. Namun saat itu, dia tidak tahu apakah suara itu tergolong normal atau tidak.

Setelah itu, Iqbal dan teman-temannya pun turun dari kawasan puncak. Ketika perjalanan turun, dia sempat bertemu dengan rombongan pendaki lain yang baru hendak naik ke area puncak dan kawah.

Ketika dia sampai di pos empat, sekitar pukul 12.00 WIB, dia mendengar suara monyet gunung seperti berteriak kencang ramai-ramai.

Sumber suara monyet-monyet gunung itu berasal dari atas, namun terdengar hingga pos empat.

Iqbal masih tidak punya firasat apa-apa. Dia melanjutkan perjalanan turun.

Begitu tiba di pos satu, yang sudah dekat dengan area perkebunan warga, terdengar bunyi gemuruh dan dentuman.

“Kami lihat ibu-ibu petani lari-lari sambil teriak-teriak gitu, ‘lari nak, lari, gunung api meletus’,” kenang Iqbal.

“Dibilang lah sama ibu itu, enggak pernah Marapi meletus sampai sebesar ini. Kami lihat lah ke atas, ternyata oh iya [meletus].”

“Kalau aku telat [turun] beberapa jam, pasti ikut kena imbas juga,” kata Iqbal.

Sebelum bencana ini terjadi pun, banyak pendaki yang mencapai bahkan berkemah di kawasan sekitar puncak dan kawah Marapi.

Hal itu tergambar dari foto-foto dan video-video yang diunggah di media sosial serta Google Maps.

Beberapa foto bahkan memperlihatkan area puncak ramai oleh tenda-tenda para pendaki.

Terkait diabaikannya rekomendasi jarak aman ini, pelaksana harian Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat, Dian Indriati, mengatakan para petugas pendamping di setiap pintu masuk “telah memberi arahan kepada para pendaki”.

Para pendaki juga wajib mendaftar secara daring untuk mendapatkan Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (Simaksi). Menurut Dian, pada proses itu juga tertera SOP dan aturan pendakian.

BBC News Indonesia telah mencermati SOP yang dimaksud. Namun di dalamnya tidak tertera secara tegas larangan untuk mendekat pada radius tiga kilometer dari kawah.

“Jika ada pendaki yang merasa tidak diberikan pemahaman ini akan menjadi bahan evaluasi kami,” kata Dian kepada BBC News Indonesia.

Papan peringatan untuk tidak mendekati kawah, serta peringatan bahwa radius tiga kilometer “sangat berbahaya” juga terpasang. Namun peringatan itu tampaknya diabaikan oleh para pendaki.

“Dengan adanya papan peringatan dan larangan itu sudah semestinya menjadi imbauan bagi mereka. Dan ini selalu disampaikan oleh petugas kami untuk berhati-hati, jaga keselamatan, dan jangan mendekati kawah,” sambung Dian.

Situasi tersebut, kata Eko Teguh Paripurna, menggambarkan bagaimana prinsip kehati-hatian tidak diterapkan di Marapi. Para pendaki pun tampaknya tidak cukup memahami risiko bencana yang mengintai.

“Saya menilai masing-masing pihak merasa situasinya biasa-biasa saja. BKSDA membuka izin online dengan persyaratan yang kurang memadai. Di sisi lain, pendaki juga merasa biasa naik gunung sehingga tidak perlu berhati-hati,” kata Eko.

Mirzam Abdurachman mengatakan tipe letusan Marapi pada 3 Desember sulit terdeteksi karena tidak terjadi pergerakan magma, yang biasanya menjadi indikator penanda bahwa akan terjadi erupsi.

Dia menduga lokasi Gunung Marapi yang berjarak sekitar lima kilometer dari sesar aktif Sumatra turut berpengaruh pada erupsi kali ini. Sebab, bidang bebatuan yang menopang Gunung Marapi tercacah menjadi blok-blok.

“Kalau blok-blok itu masuk ke dapur magma Marapi dengan tiba-tiba, maka terjadi kelebihan volume dan erupsi dengan tiba-tiba,” jelas Mirzam.

Aktivitas tektonik di sesar juga disebut bisa memicu erupsi, namun belum diketahui apakah tercatat ada gempa tektonik sebelum erupsi terjadi.

Selain itu, Mirzam juga mengungkap bahwa Marapi mengalami deformasi negatif atau mengerut sebelum erupsi terjadi – yang bisa saja menandakan tidak terjadi pergerakan magma. Biasanya, gunung berapi justru akan menggembung ketika terjadi intrusi.

Karakteristik Marapi ini lah yang membuat ada potensi untuk erupsi “tiba-tiba”, sehingga “sulit terdeteksi” oleh instrumen pemantau.

Gunung Marapi mengeluarkan abu vulkanik terlihat dari Nagari Batu Palano, Agam, Sumatera Barat, Senin (4/12/2023).

Mirzam tidak yakin tipe letusan di Marapi adalah erupsi freatik seperti dugaan PVMBG, yaitu ketika magma memanaskan air tanah atau air permukaan secara mendadak, dan sumbernya dekat permukaan.

Menurut catatan PVMBG, letusan dengan karakter serupa pernah terjadi di Marapi pada 2017. PVMBG akan mengirim tim untuk mengumpulkan bukti lebih jauh.

Meski ada perbedaan pendapat ini, para ahli sepakat bahwa ada risiko letusan tiba-tiba di Marapi dan gunung-gunung berapi lainnya.***BBCNIndonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *