RRINEWSS.COM — Para ilmuwan percaya Bulan memasuki zaman baru, seiring maraknya eksplorasi satelit alami Bumi itu. Simak kata para ilmuwan mengenai masalah ini.
Eksplorasi Bulan sudah terjadi sejak perlombaan antariksa kala perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Selepasnya, tidak sedikit negara yang mengirimkan wahana antariksa, bahkan manusia, untuk menuju satelit alami Bumi itu.
Pada 13 September 1959, wahana antariksa bekas Uni Soviet, Luna 2, mendarat di permukaan Bulan. Wahana ini menciptakan sebuah kawah ketika mendarat di Bulan di antara wilayah bulan Mare Imbrium dan Mare Serenitatis.
Sebuah makalah yang terbit di jurnal Nature Geoscience pada 8 Desember lalu menyatakan, momen penting itu menandakan dimulainya upaya manusia untuk menjelajahi Bulan, dan beberapa ilmuwan sekarang berpendapat itu juga merupakan awal dari zaman geologi baru yang disebut antroposen Bulan (lunar anthropocene).
Justin Holcomb, penulis utama makalah tersebut, yang juga peneliti pascadoktoral dari Kansas Geological Survey di University of Kansas mengatakan gagasannya hampir sama dengan pembahasan Antroposen di Bumi, eksplorasi seberapa besar dampak manusia terhadap planet kita.
“Konsensus yang ada di Bumi adalah bahwa Antroposen dimulai pada suatu ketika di masa lalu, entah itu ratusan ribu tahun yang lalu atau pada tahun 1950-an,” kata Holcomb.
“Demikian pula, di Bulan, kami berpendapat bahwa Antroposen Bulan telah dimulai, tetapi kami ingin mencegah kerusakan besar atau penundaan pengakuannya sampai kami dapat mengukur lingkar cahaya bulan (halo) yang signifikan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, yang mana itu akan terlambat,” lanjut dia.
Para penulis makalah ini berpendapat lingkungan Bulan, yang telah dibentuk oleh manusia selama awal Antroposen Bulan, akan berubah dengan cara yang lebih drastis seiring dengan meningkatnya eksplorasi.
Bulan penuh dengan jejak eksplorasi. Sejak pendaratan Luna 2, lebih dari seratus pesawat ruang angkasa telah jatuh dan mendarat di bulan dan “manusia telah menyebabkan kerusakan permukaan di setidaknya 58 lokasi permukaan bulan,” menurut makalah tersebut.
Mendarat di permukaan bulan sangatlah sulit, sebagaimana dibuktikan dengan banyaknya tabrakan yang meninggalkan bekas dan menciptakan kawah-kawah baru.
Menurut jurnal tersebut, kedatangan manusia ke Bulan meninggalkan banyak benda, seperti peralatan ilmiah untuk eksperimen, komponen pesawat ruang angkasa, bendera, foto-foto, teks-teks keagaman, dan bahkan sekantong kotoran manusia, mengutip CNN.
Di sisi lain, mikrometeorit secara teratur menghantam permukaan karena bulan tidak memiliki cara untuk melindungi diri dari batuan antariksa.
Para peneliti menyebut mendeklarasikan Antroposen Bulan dapat memperjelas bahwa Bulan berubah dengan cara yang tidak alami karena eksplorasi manusia.
“Proses budaya mulai melampaui latar belakang alamiah proses geologi di bulan,” kata Holcomb. “Proses-proses ini melibatkan sedimen yang bergerak, yang kita sebut sebagai ‘regolith’ di bulan.
Biasanya, proses ini mencakup dampak meteoroid dan peristiwa pergerakan massa, di antaranya. Namun, ketika kita mempertimbangkan dampak dari penjelajah, pendarat, dan pergerakan manusia, mereka secara signifikan mengganggu regolith.”
Bulan juga memiliki fitur seperti eksosfer halus yang terdiri dari debu dan gas serta es di dalam area berbayang permanen yang rentan dan dapat terganggu oleh eksplorasi lanjutan, tulis para penulis dalam makalah mereka.
“Misi masa depan harus mempertimbangkan mitigasi efek merusak pada lingkungan bulan.”
Demam eksplorasi Bulan
Perlombaan antariksa baru semakin memanas ketika beberapa negara menargetkan pendaratan misi robotik dan misi berawak untuk menjelajahi kutub selatan dan wilayah Bulan lainnya yang belum dijelajahi dan sulit dijangkau.
Misi Chandrayaan-3 dari India berhasil melakukan pendaratan bersejarah di Bulan tahun lalu setelah pesawat ruang angkasa Luna 25 milik Rusia dan wahana HAKUTO-R milik perusahaan Jepang, Ispace, mengalami kecelakaan.
Tahun ini, beberapa misi menuju Bulan. Yang sudah sukses, meski sempat mendarat dalam posisi ‘nyungsep’, adalah pendarat “Moon Sniper” milik Jepang, bulan lalu.
Sementara, program Artemis NASA bermaksud untuk mengembalikan manusia ke permukaan Bulan pada tahun 2026.
Ambisi badan antariksa Amerika Serikat ini termasuk membangun kehadiran manusia yang berkelanjutan di Bulan, dengan habitat yang didukung oleh sumber daya seperti air es di kutub selatan Bulan.
“Dalam konteks perlombaan antariksa yang baru, lanskap bulan akan sangat berbeda dalam 50 tahun mendatang,” kata Holcomb.
“Berbagai negara akan hadir, yang mengarah ke berbagai tantangan. Tujuan kami adalah untuk menghilangkan mitos bulan-statis dan menekankan pentingnya dampak kami, tidak hanya di masa lalu tetapi juga saat ini dan di masa depan. Kami bertujuan untuk memulai diskusi tentang dampak kita pada permukaan Bulan sebelum terlambat.”
Jejak manusia di Bulan telah dipandang sebagai artefak yang pada dasarnya membutuhkan suatu bentuk perlindungan.
Para peneliti telah lama menyatakan keinginan untuk memelihara situs pendaratan Apollo dan membuat katalog benda-benda yang ditinggalkan untuk melestarikan “warisan ruang angkasa”.
Namun, pelestarian seperti ini sulit dilakukan karena tidak ada satu negara atau entitas pun yang “memiliki” Bulan.
“Tema yang berulang dalam pekerjaan kami adalah pentingnya materi Bulan dan jejak kaki di Bulan sebagai sumber daya yang berharga, mirip dengan catatan arkeologi yang kami berkomitmen untuk melestarikannya,” kata Holcomb.
“Konsep Antroposen Bulan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kontemplasi mengenai dampak kita terhadap permukaan Bulan, serta pengaruh kita terhadap pelestarian artefak bersejarah.”
Pendaratan Apollo 11 di Bulan menandai pertama kalinya manusia menginjakkan kaki di dunia lain.
Jejak kaki yang ditinggalkan di Bulan oleh para astronaut mungkin merupakan simbol perjalanan umat manusia yang sedang berlangsung, yang kemungkinan akan mencakup planet-planet seperti Mars di masa depan, kata para peneliti.
“Sebagai arkeolog, kami melihat jejak kaki di Bulan sebagai perpanjangan dari perjalanan umat manusia keluar dari Afrika, sebuah tonggak penting dalam keberadaan spesies kita,” kata Holcomb.
“Jejak-jejak ini terkait dengan narasi evolusi yang menyeluruh. Dalam kerangka kerja inilah kami berusaha untuk menarik minat tidak hanya para ilmuwan planet, tetapi juga para arkeolog dan antropolog yang biasanya tidak terlibat dalam diskusi tentang sains planet.” ***(tim/cnni/dmi)