RRINEWSS.COM — Era suku bunga tinggi membuat utang dunia membengkak hingga mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah, mencapai US$ 307 triliun atau setara Rp4.723 kuadraliun pada sepanjang paruh pertama 2023. Nilai tersebut meningkat US$ 10 triliun dibandingkan semester I-2022.
Sekitar lebih dari 80℅ penumpukan utang global berasal dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Inggris, dan Prancis mencatat peningkatan terbesar. Sementara di negara-negara berkembang, peningkatan lebih nyata terjadi di Tiongkok, India, dan Brasil.
Peningkatan utang dunia ini membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat jadi 336℅ dibandingkan kuartal IV/2022 sebesar 334℅. Ini merupakan kenaikan pertama kali setelah tujuh kuartal dalam tren penurunan.
Rasio utang dunia diperkirakan masih bisa meningkat hingga 337℅ pada akhir tahun ini, melansir Institute of International Finance (IIF) pada laporan terbarunya yang rilis Selasa (19/9/2023).
Kenaikan inflasi yang tiba-tiba menjadi faktor utama penghambat penurunan rasio utang. Hal ini karena demi tekanan inflasi, bank sentral di berbagai negara di dunia menaikkan suku bunga acuan. Imbasnya ongkos pinjaman melambung, serta menekan mata uang berbagai negara.
Bank-bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga selama lebih dari setahun dalam upaya untuk mengendalikan inflasi setinggi langit. Federal Reserve (Fed), bank sentral AS misalnya, menaikkan suku bunga fed fund ke kisaran target 5,25%-5,50%, tertinggi sejak 22 tahun lalu. Ini memicu kekhawatiran tentang pengaruh dalam sistem keuangan.
“Yang paling mengkhawatirkan adalah arsitektur keuangan global tidak cukup siap untuk mengelola risiko yang terkait dengan ketegangan di pasar utang dalam negeri.” kata IIF dalam laporan triwulanan berjudul “Global Debt Monitor”.
Tak hanya itu, efek domino juga terjadi pada sikap berbagai bank yang jadi cukup konservatif dalam penyaluran kredit. Akibatnya, ekspansi loan growth menjadi lebih terhambat dan pertumbuhannya semakin turun.
Perbankan di negara maju mengalami nasib cukup berbeda dengan emerging market dari sisi ekspansi penyaluran kredit. Pada negara berkembang, penyaluran pinjaman masih diatas level pandemi, sebagian besar sumbang China, Korea, dan Thailand, sementara negara maju masih tumbuh lebih rendah akibat tekanan inflasi yang belum reda.
Lantas Bagaimana Dengan RI?
Tingkat utang dunia mencetak rekor tertinggi, begitupun dengan Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Juli 2023 naik 0,07% dari US$ 396,16 miliar menjadi US$ 396,44 miliar atau sekitar Rp 6.105,2 triliun (kurs US$1= Rp 15.400).
Dari total tersebut, posisi ULN pemerintah tercatat sebesar US$ 193,2 miliar) atau secara tahunan tumbuh 4,1% (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 2,8% (yoy).
Perkembangan ULN tersebut antara lain dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri untuk mendukung pembiayaan program dan proyek.
Berdasarkan data The Institute of International Finance, rasio utang rumah tangga Indonesia ada di anka 16,5% dari PDB, sebesar 6,3% pada sektor keuangan, 37,8% di bidang pemerintah, dan 23,6% dari PDB pada sektor non-keuangan.
Sementara itu, data CEIC menunjukkan per semester I/2023 utang pemerintah mencapai US$ 519,4 miliar atau setara dengan Rp7.990,58 triliun, sudah naik lebih dari tiga dibandingkan awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 2014 lalu.
Kendati secara nominal memang mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, akan tetapi secara rasio terhadap PDB masih cukup terkendali. Hingga Juni 2023 rasio utang berada di 38,1%, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 39,1%.
Nilai rasio utang tersebut masih di bawah peraturan perundang-undangan Keuangan Negara yang menetapkan batas ambang rasio utang terhadap PDB sebesar 60%. Oleh karena, tingkat utang RI saat ini terbilang masih cukup aman. ***CNBCI