RRINEWSS.COM — Malaysia akan meningkatkan ekspor minyak sawit ke China sebesar 500.000 ton per tahun. Keputusan ini diambil setelah negara tetangga RI tersebut menghadapi tekanan dari pemberlakuan Undang-Undang Anti Deforestasi oleh Uni Eropa (UE).
Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Fadillah Yusof mengatakan bahwa negaranya kini meningkatkan ekspor ke China, importir utama komoditas tersebut. “Impor minyak sawit dan produk berbahan dasar sawit Tiongkok dari Malaysia sebesar 3,14 juta ton pada tahun 2022,” ujarnya, seperti dikutip AFP, Senin (25/9/2023).
Lebih lanjut, Yusof mengatakan jumlah tersebut akan meningkat pada akhir tahun ini atau awal tahun depan dengan adanya tambahan penyerapan sebesar 500.000 ton minyak sawit oleh Beijing. Peningkatan ini merupakan hasil kesepakatan antara perusahaan produk minyak sawit yang berkantor pusat di Malaysia, Sime Darby Oils International, dan Guangxi Beibu Gulf International Port Group milik negara China.
“Ini pasti akan membantu Malaysia melawan pembatasan yang dilakukan Eropa,” tambahnya.”Importir China membeli produk hilir sawit bernilai tambah tinggi yang diproduksi dari Malaysia.”
Yusof menyebut ekspor minyak sawit Malaysia ke China kini diperkirakan mencapai 3,2 juta metrik ton pada tahun 2023. Meski begitu, ia mengatakan negaranya tidak punya niat untuk meninggalkan Uni Eropa, yang saat ini merupakan importir minyak sawit Malaysia terbesar kedua setelah India.
Sebagai informasi, Komisi Uni Eropa (UE) pada 6 Desember 2022 telah meresmikan Undang Undang Deforestasi atau EU Deforestation-Free Regulation (EUDR). UU baru diresmikan UE untuk mencegah perusahaan menjual kopi, daging sapi, kedelai, karet, minyak sawit, dan komoditas lain yang terkait dengan deforestasi.
Perusahaan harus membuktikan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan atau didenda hingga 4% dari omzet mereka di negara anggota UE.
Minyak kelapa sawit dipersalahkan oleh para pemerhati lingkungan karena memicu kerusakan hutan hujan di Malaysia dan Indonesia, yang keduanya menghasilkan 85% produksi global. Peraturan baru UE ini sangat kontroversial di negara-negara produsen, salah satunya Malaysia dan Indonesia yang memprotes tindakan tersebut.
Pejabat Malaysia dan Indonesia saat ini secara aktif melobi Brussel mengenai peraturan tersebut, yang tidak akan berlaku sepenuhnya selama 18 bulan. Ini untuk memberikan waktu kepada produsen untuk menerapkan kepatuhan.***(sef/cnnbi/sef)