RRINEWSS.COM- – SOLO – Masih ingat peristiwa 15 tahun silam, yaitu pengepungan rumah Noordin Mohd Top atau Noordin M Top? Pengepungan rumah berbatu bata tanpa plester ini terjadi di sebuah kampung wilayah Solo.
Berlangsung dramatis, gembong teroris asal Malaysia itu tewas mengenaskan bersama dua pengikut atau pengawalnya di sebuah rumah kontrakan.
Kini, rumah tersebut jadi lokasi persembunyian terakhir Noordin M Top sekaligus saksi bisu penggerebekan dramatis oleh Densus 88 Antiteror.
Tribun sempat memotret dan melihat kondisi rumah kontrakan di Kampung Kepuh Sari, Mojosongo, Kota Solo tersebut.
Tampak sebuah tangga bambu terpalang di teras rumah bercat putih di pinggiran Kampung Kepuh Sari.
Cat lisplang kanopi dan tiang terasnya pink terlihat sudah pudar atau kusam. Pintu rumahnya terbuka.
Meteran listrik terlihat copot atau dicopot. Dari depan, rumah berukuran 5x 10 meter itu tampak utuh dan bagus.
Ini jauh dari fakta terakhir pada 17 September 2009, atau 15 tahun lalu. Rumah ini hancur lebur. Atapnya runtuh, pintu-pintunya jebol, dinding-dindingnya penuh lubang bekas tembakan.
Jelaga bekas kebakaran memenuh dinding ruang tamu. Inilah bekas rumah kontrakan di Kampung Kepuh Sari, tempat perhentian terakhir gembong teroris Noordin Mohd Top.
Warga Malaysia itu tamat riwayatnya setelah digerebek pasukan Densus 88 Antiteror.
Ia tewas bersama dua pengikutnya, Gempur Budi Angkoro alias Bagus Budi Pranoto alias Urwah, dan Aji alias Ario Sudarso.
Urwah alias Gempur Budi Angkoro ini berasal dari Ponpes Darusy Syahadah, Simo , Boyolali. Dia alumni Ponpes Al Mukmin, Ngruki.
Sedangkan Ario Sudarso alias Aji alias Mistam alias Husamudin, berasal dari Dukuh Kedungjampang, Desa Karangreja, Kecamatan Kutasari, Purbalingga, Jawa Tengah.
Satu lagi korban tewas bernama Adib alias Susilo, pengontrak rumah itu yang saat itu mengaku bekerja sebagai penjaga ternak di Ponpes Al Kahfi Mojosongo.
Istri Susilo bernama Putri Munawaroh, yang juga ada di dalam rumah yang diserbu, ajaibnya lolos dari maut.
Drama penyerbuan dan perburuan Noordin Mohd Top dan komplotannya di Mojosongo menurut warga setempat, berlangsung sangat dramatis.
Hendri, Ketua RT 03 saat ini, yang membawahi lingkungan rumah itu ingat, penyerbuan terjadi menjelang tengah malam.
Tapi ia saat itu sedang di lokasi lain berjualan. Istrinya yang di rumah yang tahu dan pertama kali mendengar bunyi rentetan tembakan.
Ia awalnya mengira bunyi petasan. Waktu itu sekira pukul 22.30 WIB. “Saya kira bunyi petasan. Tapi ada tetangga keluarga AURI bilang itu bunyi tembakan,” kata istri Hendri, Kamis (18/7/2024).
Ia tidak mau ditulis namanya. Begitu keluar rumah, dan warga lain juga sama-sama mencari tahu, jalan-jalan kampung sudah dibanjiri petugas.
Polisi menembaki lampu-lampu penerangan jalan umum, dan warga diminta mematikan lampu di rumahnya.
“Kampung langsung gelap gulita, dan bunyi tembakan semakin bersahut-sahutan,” imbuhnya. Warga di ring satu berangsur dievakuasi, sebelum polisi mensterilkan area sekitar.
Mereka sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, sampai ada yang memberitahu sedang dilakukan pengejaran kelompok teroris.
Siapa yang diburu tidak ada yang diberitahu. Warga hanya tahu, rumah yang diserbu saat itu dihuni Susilo dan istrinya, yang mengontrak rumah itu enam bulan sebelumnya.
Tiga bulan setelah menghuni rumah kontrakan, Susilo baru menyerahkan KTP ke Ketua RT 03 saat itu, Pak Suratmin.
Selebihnya tidak banyak warga dan tetangga kontrakan mengetahui aktivitas Susilo dan istrinya. Mereka tidak memeriksa rinci apa benar Susilo kerja di ponpes yang ia sebut.
Tapi istrinya, Putri Munawaroh, sejak tinggal di situ, menawarkan diri mengajar pengajian ke anak-anak sekitar jika sore.
Warga sekitar tidak pernah menyangka Susilo dan istrinya akan menampung Noordin Mohd Top dan kawan-kawan yang sedang diburu Densus.
Aktivitas di rumah itu juga tidak pernah mencurigakan. Warga tidak pernah melihat kedatangan orang-orang asing siang maupun malam.
Karena itu ketika penggerebekan terjadi, semua terheran-heran. Ternyata di dalam rumah itu ada pendatang, dan jumlahnya ternyata tiga orang pria.
Menurut istri Hendri, sempat muncul tanda tanya di benak warga, ketika belakangan Susilo kerap membeli air galon.
Seringnya pembelian air galon ini jadi tanda tanya karena warga tahunya hanya ada dua orang di rumah itu.
Konsumsi air bergalon-galon dalam tempo pembelian yang sering dirasa musykil, karena rumah itu menggunakan air PDAM.
“Tapi ya hanya sebatas bertanya-tanya saja, tidak lebih dari itu,” kata perempuan yang tinggal di blok depan rumah kontrakan tersebut.
Tanda tanya lain, pintu rumah Susilo itu selalu tertutup rapat. Meski ada anan-anak sedang belajar mengaji di teras, pintu itu tak pernah terbuka.
Ia dan sejumlah warga yang tak ingin namanya ditulis, mengatakan penggerebekan Noordin Mohd Top diawali kehadiran orang-orang asing kira-kira sejak sepekan sebelumnya di kampung itu.
Ada yang menyamar jualan keliling cilok, bakso. Ada yang jadi pencari rongsokan dan sampah plastic. Ada juga yang pura-pura berburu burung.
Mereka tiap hari mengitari kampung, dan pemburu burung berkeliaran di tanah-tanah kosong belakang rumah kontrakan itu yang masih rimbun dan berbatasan dengan sungai kecil.
Posisi rumah persembunyian Noordin Mohd Top tampaknya dipilih karena cukup strategis. Belakangnya kebun kosong posisi melandai ke arah sungai.
Tidak ada rumah atau bangunan apapun di area itu, hingga batas sungai. Di seberangnya baru masuk wilayah perkampungan Badran.
Jadi untuk jalur escape atau lari jika terjadi sesuatu cukup ideal. Pintu belakang rumah kontrakan ada di samping kiri, yang juga masih ada lahan sebelum masuk area rumah tetangga.
Laporan wartawan Tribun dari lokasi kejadian pada 17 September 2009 memperlihatkan suasana dan rasa kaget di kalangan warga Kepuh Sari.
“Seperti mimpi saja. Benar-benar tidak menyangka,” ujar Ny Sulini (34), yang tinggal persis di depan rumah kontrakan Susilo kala itu.
Perempuan itu menilai sejak tinggal di rumah itu, Susilo dan istrinya pasangan yang baik-baik saja dan sopan.
Hanya mereka memang tak langsung menyerahkan identiitas ke Ketua RT. Susilo mesti berkali-kali diingatkan tetangganya agar melaporkan kehadirannya ke pengurus lingkungan.
Berdasar KTP yang diserahkan, Susilo berasal dari wilayah Pajang, Laweyan, Solo. Sedangkan istrinya warga Banaran, Grogol, Kabupaten Sukoharjo.
Sebagai kilas balik ringkas, penyerbuan rumah singgah Noordin Mohd Top diawali ketika sejumlah orang mengetuk pintu rumah Widodo, rumah di sebelah kontrakan Susilo.
Mereka meminta tuan rumah mematikan lampu. Tak berselang lama, terdengar tembakan ke arah rumah Susilo dan keluarga Widodo diminta tiarap.
Dari dalam rumah Susilo terdengar suara laki-laki meneriakkkan takbir. Bunyi tembakan terus terdengar silih berganti.
Rumah kontrakan itu ternyata sudah terkepung dari semua sisi. Rentetan tembakan semakin sering terjadi mendekati pukul 00.00 WIB.
Satu jam kemudian bunyi tembakan reda ditandai ledakan dan semburan bunga api menjebol atap rumah sekira pukul 01.00 WIB.
Sekira pukul 02.30 WIB, kembali terdengar rentetan tembakan, dan sesudah itu tidak ada lagi hingga hari terang pada 17 Septemeber 2009.
Kampung Kepuh Sari sudah dibanjiri pasukan keamanan, mobil pemadam kebakaran, ambulans, dan kendaraan Inafis Polri.
Polisi mengevakuasi kotak-kotak yang kabarnya berisi amunisi, karung-karung bahan peledak, gulungan kabel dan barang bukti lainnya.
Sesudah itu, empat ambulans meninggalkan tempat penyergapan membawa empat kantong jenazah di waktu berbeda-beda.
Setelah hari terang itu warga baru tahu tembakan juga datang dari arah dalam rumah Susilo. Lubang-lubang bekas hantaman proyektil terlihat di dinding rumah seberang kontrakan yang diserbu.
Akan halnya Putri Munawaroh yang tengah hamil, warga belakangan mendengar ia selamat karena berlindung di dalam gulungan kasur di kamar.
Sementara Noordin Mohd Top, Urwah, Ario Sudarso, dan Susilo alias Adib, ditemukan tewas di kamar mandi dan dapur di bagian belakang rumah tersebut.
Seorang anggota Densus 88 Antiteror yang ikut dalam penyerbuan itu kepada Tribun mengatakan, kepala Noordin Mohd Top rusak berat.
Tapi wajahnya masih bisa dikenali. Ia menggambarkan, Noordin Mohd Top berjambang sangat lebat dan rambut brewoknya keriting menjuntai.
Tubuhnya cukup tinggi tegap atletis. Rambutnya tebal lurus. Penampilannya sangat berbeda dengan foto diri dan sketsa yang dimiliki petugas keamanan.
“Kalau kita papasan, sangat sulit mengenalinya dengan penampilan dan wajah terakhir seperti itu. Beda jauh dengan foto dan sketsa kita,” katanya di sebuah kedai kopi di pinggiran Solo.
Penyerbuan Mojosongo mengakhiri petualangan Noordin Mohd Top, yang dikenali sebagai tokoh penting perekrut dan ideolog kelompok teroris Indonesia.
Pada kasus bom Bali pertama, Noordin Mohd Top sudah terlibat tapi perannya tidak sepenting dan sedominan aksi-aksi sesudah itu.
Sebagai perekrut dan ideolog, ia kalah pamor dengan Muklas yang sangat senior. Baru setelah Muklas dan kawan-kawan ditangkapi dan ia lolos, perannya mulai signifikan.
Di kasus bom Bali kedua, peran Noordin Mohd Top sangat signifikan. Video rekamannya yang menyiarkan misi aksi itu muncul ke publik.
Mengenakan gamis panjang dan berseibo atau mengenakan penutup kepala, Noordin Mohd Top menjelaskan maksud tujuan pengeboman kali kedua di Bali 1 Oktober 2005.
Bom Bali kedua dirancang Noordin Mohd Top dengan para eksekutor berasal dari Banten. Dr Azhari dari Malaysia menyiapkan bom-bom yang digunakan.
Doktor di University Teknologi Malaysia itu akhirnya ditamatkan hidupnya saat bersembunyi di sebuah rumah di Kelurahan Songgokerto, Batu, Malang, Jawa Timur.
Penyerbuan rumah persembunyian Dr Azhari berlangsung 9 November 2005, berjarak sebulan saja setelah aksi pengeboman di Bali.
Azhari bin Nurdin tewas bersama Arman, pengikutnya yang diyakini ahli merakit bom. Arman alias Agus Puryanto, diketahui warga asal Widodaren, Ngawi.
Keberadaan Dr Azhari dipastikan ada di sebuah rumah di Kota Batu itu, setelah pendampingnya bernama Cholili, diringkus di dekat Semarang.
Pagi sebelum penggerebekan dimulai, Cholili meninggalkan Kota Batu, dan ternyata bergerak naik bus ke arah Semarang.
Bubarnya Jamaah Islamiyah atau JI pada 30 Juni 2024 menandai babak baru sejarah terorisme di Indonesia.
Rumah kosong di Kampung Kepuh Sari, Mojosongo, di selatan Kawasan TPA Putri Cempo, jadi saksi bisu jejak berdarah-darah yang ditinggalkan orang-orang yang dibesarkan JI pada masanya.***